Sunday 20 December 2015

[Review] Midnight Show (2015)

Film Midnight Show telah menarik perhatian saya sejak pertama kali menonton trailernya. Midnight Show akan tayang 14 Januari 2016 nanti di bioskop-bioskop. Beruntung ada open registration untuk screening yang dilakukan tanggal 19 Desember lalu di CGV Blitz Grand Indonesia sehingga saya bisa nonton sebulan lebih cepat :p



Trailernya akan mengingatkan pada film Coming Soon dari Thailand karena setting yang sama-sama dalam bioskop. Tenang saja, film ini akan berbeda dari Coming Soon, karena genre yang diusung berbeda. Coming Soon jelas mengusung hantu, sementara Midnight Show akan mengusung genre slasher dengan pelakunya adalah manusia, bukan hantu.


Film ini menceritakan Bioskop Podium yang hampir bangkrut dengan setting tahun 1998, di mana harga karcis masih Rp 1.500. Podium menayangkan film "Bocah" yang menceritakan tentang Bagas, seorang bocah 12 tahun yang membunuh keluarganya. Film yang diangkat dari kisah nyata tersebut diharapkan pemilik Podium, Pak Johan (Ronny P. Tjandra) bisa menyelamatkan Podium dari kebangkrutan.

Sekarang bayangkan sebuah premis, bagaimana jika Bagas, si Bocah yang sudah dewasa dan sudah keluar dari penjara menonton film tentang dirinya dan tidak suka filmnya? Apa yang akan dilakukannya?

Saat pemutaran film "Bocah" di tengah malam, satu persatu korban mulai berjatuhan akibat sosok bertopeng. Naya (Acha Septriasa) dan Juna (Gandhi Fernando) berusaha menyelamatkan diri dari sang pembunuh. Dengan lokasi yang hanya berada dalam gedung bioskop tua yang terkunci, sedikit mengingatkan saya pada I Still Know What You Did Last Summer yang bersetting di pulau kosong, di mana ruang gerak para survivor akan terbatas.

Awalan film dibangun dengan tidak bertele-tele, korban pertama jatuh dengan cepat, sekitar 15 menit sejak film dimulai. Tensi ketegangan tidak terlalu tinggi, namun cukup untuk membuat penonton tidak ngantuk dan tetap fokus menonton hingga selesai.

Ada beberapa kekurangan yang saya temukan di film ini. Seperti noda darah di baju putih Juna berbeda lokasi saat scene berubah, saya langsung bisa menyimpulkan bahwa Gandhi Fernando mengenakan baju putih yang berbeda saat pergantian scene tersebut. Sebagai pecinta film slasher, saya bosan dengan teknik membunuh yang itu-itu saja dalam film ini, namun saya terpaksa maklum saat mengingat ketatnya Lembaga Sensor Indonesia.

Berdasarkan sesi Q&A yang diadakan di akhir screening, versi yang akan tayang di bioskop tanggal 14 Januari 2016 nanti berbeda dengan versi screening yang saya tonton kemarin. Versi yang tayang serentak nanti akan melalui pemotongan satu menit lagi, sementara versi screening yang saya tonton sudah melewati pemotongan empat menit setelah sempat ditolak LSI.

Mengenai topeng Bocah yang digunakan si pembunuh, topeng ini mengingatkan saya pada topeng yang dipakai Michael Myers di Halloween. Bisa dibilang topeng Myers adalah versi dewasa dari topeng Bocah. Topeng yang digunakan Myers benar-benar berwajah datar, sehingga hanya melihat gambarnya saja sudah membuat merasa tidak nyaman. Topeng Bocah masih jauh dari kesan horor yang sanggup ditampilkan topeng Myers. Yah, setidaknya masih lumayan untuk mengagetkan dan menakuti orang :p



Lihat perbandingannya?

Acha Septriasa pertama kali bermain genre thriller dalam film ini setelah sebelumnya hanya berkisar pada genre drama, komedi romantis, dan religi saja. Cukup menarik bagaimana ia menjajal kemapuan aktingnya dengan menjajal genre baru. Ratu Felisha yang sedikit mengecewakan saat bermain dalam Badoet lalu, juga terasa kurang dalam film ini. Apa tak ada hal lain yang bisa dilakukan selain hanya menangis menjerit-jerit? :\

Untuk pemeran lain, saya merasakan masih kurang pendalaman karakter. Sebagai penonton, saya merasa masih kurang bersimpati pada para korban ataupun si survivor. Saya membandingkan dengan Scream, di mana saya benar-benar kecewa saat ada beberapa tokoh yang mati.

Ending film yang dimaksudkan untuk dibuat twist, sedikit agak dipaksakan menurut saya. Dan masih ada sedikit ganjalan sebelum layar berubah gelap menampilkan credit scene. Film ini memang tidak berhasil melampaui ekspektasi saya yang sangat wah saat menonton trailernya. Namun saya masih memberikan nilai 7 untuk film ini mengingat genre slasher yang jarang diusung film Indonesia dan jalan cerita yang sanggup membuat saya duduk bertahan nonton hingga selesai tanpa bosan.

Bagaimanapun juga, ini adalah film pertama bagi Ginanti Rona sebagai sutradara setelah berkali-kali menjadi asisten sutradara. Ini adalah film yang bagus untuk film pertama. Saya berharap untuk genre thriller dan slasher yang berikutnya bisa menampilkan sesuatu yang tercantum jelas dalam kepala saya seperti ekspresi dan nada suara datar Shareefa Danish dalam Rumah Dara, atau adegan membunuh dengan menenggelamkan ke dalam mangkok sop yang dilakukan Fachri Albar dalam Pintu Terlarang.

Btw, saya bertemu lagi dengan ibu ibu yang sempat saya ceritakan saat saya menonton Nay. Kali ini saya tidak menyapa karena si ibu terlihat berjalan sambil sibuk dengan kertas. Kelihatannya ibu tersebut memang orang perfilman :p

RATE
7.3/10

No comments :

Post a Comment